Queen Aida
ENTRY ABOUT FRIENDS STUFF SEUNGRI TWITTER EXO K

Persinggahan
Rabu, 22 September 2010 - Permalink - 0 Comments
Pelan...dia berjalan di belakangku sambil membawa setangkai bunga tulip yang wanginya ku suka, sepatu hitamnya yang mengkilat penuh lumpur, matanya merah dan membengkak, tubuhnya layu seperti aku, dan wajahnya sayu sepucat wajahku, badannya tak setegap dulu, sekarang basah ditimpa bulir-bulir deras, rambutnya yang baunya ku suka, juga basah dan hampir menutupi keningnya...
Aku di dalam sini, sendiri...di luar masih gerimis, tapi aku hangat di sini...wangi bunga tulip menyerebak, dapat ku cium baunya...Ia masih menggenggamnya erat...jejak-jejakku semakin dekat, pekat begitu lekat di hatinya, selepas ini mungkin ia akan jarang menemuiku...
Sebentar lagi tiba , Ia masih menguatkan diri...tubuhnya dingin sedingin tubuhku, jas hitam yang ia kenakan tampak rapi menutupi tubuh yang sering ku jadikan sandaran berkeluh kesah, jas yang sama yang ia kenakan ketika kami pertama bertemu ...aku merasakan hembusan nafasnya yang hangat, yang sekarang sudah tidak bisa ku lakukan...udara, ada udara yang hilang...
Tiba,
Aku sudah tiba di persinggahan....
Jasadku siap dibaringkan
Aku di dalam, hangat, sebentar lagi bertemu Malaikat...


Bulan ke-12, tanggal 25
Toko Buku Gramedia, Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah...
Perahu Kertas, Dewi Lestari...
Sudah sampai di halaman 12, ku buka kaca mataku...dan berhenti membaca, ku kembalikan lagi novel bercover hijau itu di rak dekat penitipan tas dan barang, aku bergegas...ada sesuatu yang memburuku, inspirasi!
Sesampainya di apartemen, aku langsung membuka laptop pemberian Oma, aku mulai menulis semua yang ingin ku tulis, ajaib...fiksi itu ajaib, membawamu jauh ke dalam batas imajimu, bertemu dengan orang-orang yang kau ciptakan sendiri, dengan karakter-karakter yang kau reka sekena hatimu, tapi itu semua tidak lantas menjadikanmu seperti Tuhan, kau tetap manusia kaya inspirasi!


Bulan 1, hari ke-25
Palangkaraya, Kalimantan Tengah...
Ia berada di tengah keramaian, bau darah...darah di mana-mana, bercampur dengan bau ban-ban bekas yang dibakar, kerusuhan baru saja terjadi, dan Ia sedang di sana meliputnya, di kerah kemejanya ada bercak darah, ada sayatan luka di lehernya, lemparan batu mengenainya, baginya tidak masalah, asal jangan sampai kameranya yang terkena amukan massa. Ia masih di sana, dengan pulpen dan note book yang dikalungkan di lehernya yang luka. Ia yang ku tahu sangat menikmati pekerjaannya tersebut.
Bandung, 3 Februari
Talk Show Novel Tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Aku ada di sana, begitu juga ia, dengan kameranya, pulpen dan note book yang dikalungkan di leher, jas hitam membalut tubuhnya, tampan, tapi untuk acara seperti ini agaknya kurang pas jika mengenakan jas seperti yang dikenakannya saat itu, aku tertawa kecil saat tidak sengaja mataku menangkap pandangannya, aku mengenakan pakaian batik waktu itu, pemberian Oma. Warnanya ungu, aku suka...
Selepas acara selesai, aku berfoto dengan Andrea Hirata, ia dengan sigapnya juga mengambil gambarku dengan kameranya, aku terkejut...raut wajahku berubah seketika, tidak jadi melebarkan senyum karena heran dengan apa yang baru saja ia lakukan, dapat dipastikan gambarku jelek, karena tidak senyum. Aku langsung menghampirinya, ia mendekat seakan mengerti maksudku, dan berbisik
“Cantik, Kamu cantik mengenakan baju batik ini, warnanya ungu, aku suka.”
Bali, 4 Maret
Nusa Dua Beach Hotel
Setelah pertemuan di Bandung dan setelah peristiwa pengambilan gambar itu, kami semakin dekat, sekarang kami sedang berlibur di Pulau Dewata, ia yang mengajakku ke pulau ini, katanya di Bali banyak inspirasi dan berita, kebutuhan kami. Nanti malam ia akan meliput peragaan busana tardisional bali yang dirancang oleh sahabatnya sendiri, Kanaya. Sementara aku, aku disarankan pergi ke pantai-pantai yang tersebar di Pulau Bali untuk memburu inspirasi.
“Ini kunci mobilnya, sebelum acara dimulai, Kanaya akan menjemputku di hotel.” Ia meletakkan kunci mobil Audynya di meja mini bar kamarku.
Belum ku ceritakan mengenai pekerjaannya, dan apa pula kegiatanku, Ia adalah salah seorang wartawan sebuah harian di Kota Solo, sementara aku, aku adalah penulis yang belum terpublikasi, karya-karyaku masih tersimpan rapi dalam folder di laptop pemberian Oma. Oma bilang, suatu saat ketika sudah benar-benar siap menjadi seorang penulis, barulah karya-karya itu harus kupublikasikan, menurut Oma aku masih harus banyak belajar, terkadang dalam menulis aku masih egois, tidak peka terhadap apa yang terjadi di dunia luar, hanya fokus terhadap kisah hidupku saja, Oma juga bilang itu berarti aku belum siap untuk menjadi seorang penulis.

Ketika bertemu dengannya, aku mulai banyak belajar untuk menjadi diri sendiri,
“Tulis saja apa yang ada dalam pikiranmu, hatimu akan tenang.” Katanya
Sejak itu aku menjadi jarang ke toko buku untuk sekedar membaca kutipan novel penulis terkenal untuk mencari inspirasi.
“Inspirasi ada di mana-mana, temukan dan ciptakan.” Ujarnya lagi
Ia mengenalkan dunia yang lebih luas padaku, sekarang tempatku bukan hanya di apartemen atau toko buku, di pantai, pusat perbelanjaan, halte busway, ruang tunggu rumah sakit, inspirasi ada di mana-mana, temukan dan ciptakan.
Mengenai liputan peragaan busana tradisonal di Bali tempo hari, sebenarnya adalah liputan pertamanya, karena Kanaya adalah sahabat karibnya sejak di bangku SMP ia tidak ingin kehilangan moment meliput keberhasilan sahabatnya itu sebagai seorang designer professional. Faktanya Ia lebih terbiasa dengan keributan, keramaian, dan kerusuhan. Karena itulah sasaran liputannya. Luka bekas lemparan atau peluru yang nyasar adalah tantangan baginya, ia tak lengah bahkan tak gentar. Jika aku pemburu inspirasi untuk sebuah fiksi, maka ia menyebut dirinya sebagai pemburu fakta untuk sebuah berita, itulah yang membedakan kami.
Suatu ketika aku mendapat telepon dari Oma yang sekarang berdomisili di Yogya, Oma sakit parah, diabetes. Oma terus mengeluh, ia tidak dapat menahan jika harus buang air kecil, sekarang ia lebih banyak tinggal di rumah, kata Oma ia tidak dapat mengunjungiku bulan ini, karena ia harus rutin kontrol ke dokter. Akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi Oma di Yogya.
Aku mengenalkannya pada Oma, aku berangkat ke Yogya bersamanya. Oma bilang ia suka dengan teman laki-lakiku itu, ia pandai memainkan piano dan menyanyikan sebuah lagu untuk Oma, Hero dari Mariah Carey. Ia banyak bercerita tentang pekerjaannya pada Oma, Oma bilang itu pekerjaan yang hebat.
“Sesekali ajaklah dia melihat saat-saat kamu meliput suatu peristiwa, agar dia bisa belajar hal baru, tidak hanya menulis fiksi, berita berdasarkan fakta pun harusnya dia bisa.” Kata Oma padanya sambil melirikku.
Di waktu senggang, aku sering mengajaknya ke florist langgananku, untuk membeli dua tangkai bunga tulip sebagai penghias ruang tamu di apartemenku. Terkadang kami juga pergi ke taman budaya untuk menyaksikan pentas seni Kota Solo, meonton bioskop atau sekedar makan siang bersama.
Aku bilang padanya bahwa aku kesepian, sebelum Oma memberikan laptopnya untukku, sahabat setiaku hanya sebuah buku harian dan novel-novel usang Mira W pemberian almarhum Opa. Sejak umur tiga tahun Oma dan Opa yang mengasuhku, Ayah dan Ibuku tinggal di Washington DC, Ayahku bekerja sebagai salah satu wartawan VOA untuk Indonesia, mereka tinggal di sebuah rumah kecil dekat kantor kedutaan. Oma dan Opa sepakat untuk mengasuhku dan sejak saat itu aku tinggal bersama mereka, setiap setahun sekali Ayah dan Ibuku baru datang mengunjungiku karena kesibukan pekerjaan ayah. Setelah usiaku menginjak 11 tahun mereka tak pernah datang lagi.
“Aku rasa sekarang temanku bertambah satu, bolehkah berkata jujur?aku merasa nyaman di dekatmu, kamu seperti bunga tulip, aku suka.” Tanpa disadari tubuhku bertumpu di tubuhnya sekarang, aku bersandar di bahu yang tegap, wangi rambutnya aku suka.
Bulan 7, tanggal 25
Aku ikut dengannya ke Manokwari, untuk sebuah lliputan. Oma mengizinkan kepergianku, Oma banyak berpesan agar aku menjaga diri dan kesehatanku di sana, Oma juga menitipkan pesan yang sama kepadanya, tidak hanya itu Oma juga berpesan agar ia harus selalu menjaga dan mengawasiku.
Di Manokwari sedang terjadi kerusuhan antar suku, ia tak sabar dengan liputannya, ini akan menjadi oleh-oleh yang langka untuk redaksi tempatnya bekerja, tak pernah sejauh Manokwari sebelumnya, dan tak pernah sebesar kerusuhan yang tengah terjadi di sana. Pagi itu ia sudah siap dengan kamera, pulpen, dan notebooknya, ia memakai kemeja yang kupilihkan, ia tetap tampan, tak pernah pudar dari wajahnya. Aku ikut dengannya, kami berangkat dengan mobil JIP pinjaman pemda, khusus untuk wartawan lokal dan nasional. Sesampainya di tempat kejadian, suasana sudah kacau, riuh, dan penuh ketegangan, masing-masing kubu siap dengan senjatanya, jika hari ini perundingan tetap tidak menemukan kesepakatan, maka bersiaplah senjata-senjata itu menghunus siapa saja yang dipilihnya. Medan perang siap berlumuran darah.
Kami sepakat untuk meliput dari radius yang sudah ditentukan, kategori yang dinyatakan aman untuk para wartawan. Namun waktu itu ia menerobos batas yang sudah ditentukan, alasannya karena ingin mendapatkan gambar yang lebih jelas, apalagi kameranya tidak secanggih kamera milik para wartawan nasional, meskipun begitu, menurutnya kualitas berita dan gambar yang mampu diambil tidak boleh kalah dibandingkan harian nasional. Aku mengikutinya dari belakang, ku pegang kuat ujung belakang kemejanya, aku tidak menghalanginya berbuat sesuatu yang kuanggap hal yang paling bodoh saat itu, aku percaya padanya.
“Tetap di belakangku, tenang saja , kita sudah memakai identitas wartawan, mereka tidak akan menjadikan kita sasarannya.” Bisiknya sambil tersenyum menenangkanku. Aku hanya mengangguk, kakiku gemetar, tangan dan dahiku basah karena keringat yang terus mengucur deras, ketakutan menyergapku seketika. Beberapa detik saja, semua menjadi hitam...seperti ada benda tajam yang melesat cepat dan menancap di dadaku. Darah bercampur dengan keringat dan air mata. Ketakutanku sirna.
Detik-detik mengenaskan itu tidak perlu ditulis, Oma tahu ceritanya, ia menerimanya dengan ikhlas. Kepergianku, kepergian Opa, kepergian kedua orang tuaku ketika terjadi kecelakaan beruntun di Philadelvia. Pemakaman, Oma menjadi terbiasa dengan upacara pemakaman.
Ia, lelaki tampan itu kini ingin belajar menulis fiksi, karena sejak saat itu fakta yang ia temukan sangat memilukan. Ia ingin memberiku hidup yang ke dua, aku terselamatkan, tetap dapat melihat wajahnya yang tampan, dan berbagi kisah fiksi dengannya, fiksi itu indah, karena fiksi menghidupkanku kembali dalam imajinya.
Persinggahan ini indah, di samping kiri persinggahanku ada pusara Opa dan di samping kanan persinggahanku ada pusara kedua orang tuaku.
Oma yang renta, yang lelah hatinya akibat terus menangis karena kehilangan, meskipun ia tegar dengan pembawaannya yang tenang, namun diabetes akhirnya membuat Oma menyerah. Oma bersama kami di persinggahan ini sekarang, Oma di sana, di samping pusara Opa.
Ia, lelaki tampan itu, sesaat setelah hujan reda,biasanya di sore hari,selalu mengunjungiku dengan membawa setangkai bunga tulip yang wanginya ku suka.

Label:



Older Post | Newer Post