Aku masih belum pantas mengeja namamu, merasakan kehadiranmu, dan melukiskan bayanganmu…
Aku dengar kau mengucapkan sesuatu,
Dan aku sadar, ketakutan adalah senjata untuk menyembunyikan diri dari kepekaanmu,
Kau hebat dalam diammu, maka kata tak lebih baik dari isyarat yang coba kau beritahukan saat hujan baru saja reda, dan mentari kembali menantang angkasa...
Jika keraguan masih membombardirmu, pakailah senjataku untuk bertahan sedetik saja sebelum kau bilang kau menyerah!
Aku yang bodoh membiarkanmu berperang tanpa lawan apalagi kemenangan...

Saat aku melangkah sehasta saja dari tempatmu berdiri saat ini, bersama itu pula aku menghapus jejakku sendiri, aku membawamu pada sebuah teka-teki yang akan mengantarmu pada berjuta-juta misteri tentang diriku yang tak kau ketahui sebelumnya...
Aku senang jika berhasil melakukannya, karena aku akan melihat kau semakin bodoh...
Iya! Kau menjadi terlihat semakin bodoh!
Untuk apa mengejarku, aku bukanlah pemegang piala kemenangan atas pertempuranmu dengan hatiku, meskipun kuakui kau berhasil menaklukkannya, tapi tak akan membuatku jera untuk berkata tidak!

Mengapa waktu itu tak kau jaga hatiku?mengapa kau masih mengejar sesuatu yang berkeliaran di depanmu?apakah rongga di dadamu itu sudah cukup besar untuk menampung hati-hati yang belum terjamahi?
Salah siapa kau rakus!

Cukuplah aku yang menghukummu dengan rasa sakitku, dengan lukaku, dengan air mataku...
Lalu,
Apa lagi yang membuatmu jera?
Sudah cukup...

Label: Poem